KETULUSAN HATI PRASASTI (cerpen)

 Ini cerpen pertama saya yang go public. Dari cerpen ini saya dapat modal untuk biaya menikah :-)

Semoga bisa menginspirasi....dan selamat membaca...!

KETULUSAN HATI PRASASTI

 

Tujuh belas juta, dari mana aku harus mencari uang sebanyak itu. Bekerja satu dekadepun tak akan cukup mengembalikan uang Bapak yang telah dikeluarkan untuk membiayaiku masuk akademi kebidanan.

“Bapak kan sudah bilang, kerja saja. Bantu Simbok mu jualan. Mas mu itu cuma lulus SMP, tapi juga bisa hidup layak!”

‘Hidup layak apanya, lha wong masih sering minjem uang Simbok. Bapak saja yang ndak tahu.’ Gerutuku dalam hati. Memang benar adanya, kalau Mas Prasetyo sering meminjam uang Simbok saat penghasilannya dari dagang roti sedang seret.

Aku masih mengunci diriku di kamar. Aku tidak mau makan, apa lagi keluar rumah. Aku malu bertemu orang. Sore tadi saat bapak marah-marah, seluruh tetangga langsung tahu kalau aku tidak lulus lagi ujian akhir. Maklum rumah kami bersebelahan dan hampir tak berjarak. Bisa kupastikan saat ini mereka sedang membicarakan ku. Simbok terus saja membujukku untuk keluar kamar, makan dan mandi, biar badanku segar. Sayangnya aku malas, sama dengan Simbok yang gigih membujukku, Bapak juga tidak kalah semangat menceramahi aku. Seakan-akan kuliah sore tadi tak cukup untuk melengkapi kesedihanku.

Sudah kupuaskan mataku untuk menangis, apa lagi saat aku mengingat Pak Dekan menyatakan aku tidak lulus. Tetapi perasaan ini masih tak bisa mengikhlaskan kejadian tadi pagi. Andai saja aku bisa meminta bantuan doraemon sebuah lorong waktu untuk kembali ke kejadian yang membuat hari ini menjadi awal dari sebuah akhir perjalanan hidup ku.

 

Bermula dari pagi yang buta saat semua orang masih menikmati indahnya mimpi mereka, aku sudah bersiap untuk berangkat kuliah. Biasanya tak sepagi ini aku berangkat, tapi hari ini nasibku akan ditentukan. Apakah aku akan lulus atau harus bekerja mengganti ongkos kuliah yang sudah dikeluarkan Bapak. Setidaknya inilah perjuanganku untuk bisa menjadi seorang bidan. Untuk memperbaikai hidupku di masa depan, juga untuk menunjukkan ke orangtuaku jika sekolah itu penting dan aku mampu, sekalipun dengan otakku yang pas-pasan.

Semalaman aku  belajar, berdo’a dan minta restu pada semua orang di sekitarku. Tidak hanya Simbok dan Bapak, Simbahku, Pak Lik dan Bu Lik, juga tetangga-tetanggaku, semua ku minta untuk mendo’akanku. Aku masih ingat  kata-kata guru SD ku dulu ‘mintalah do’a dari semua orang, karena kita tidak tahu dari mulut siapa do’a itu akan dikabulkan’. Siapa tahu tetanggaku yang haji itu amalannya sudah segunung jadi akan mustajab semua do’anya. Amin.

Diantara semua hanya seorang yang membuat hatiku kecewa. Bapak, adalah orang yang benar-benar kuharapkan dukungannya untuk membuat hatiku besar dan semangat untuk mencapai cita-cita. Bapak malah bilang ‘Kalau kamu ndak lulus, kerja saja, ganti ongkos kuliahmu itu!’.

 

Seusai solat subuh aku memajang diriku di pinggiran jalan raya menunggu angkot menjemputku. Angkot yang membawaku menuju kampus penuh sesak dengan ibu-ibu pedagang lengkap dengan barang dagangannya. Ada daging, ikan laut, sayuran, semua dengan aroma khas mereka. Jarak yang begitu jauh dari rumahku ke kampus harus melewati dua pasar membuat kejadian semacam ini sudah kuperhitungkan. Beruntung sekali bajuku sengaja ku lipat, ku bungkus kertas koran dan kusimpan rapi di tas. Ini akan membuatku tetap perlente saat ujian akhir nanti.

Maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Prasasti, panggil saja aku ‘Sasti’. Aku terhitung tidak terlalu tinggi hanya sekitar 155 centi maksudku agar terlihat lebih tinggi, sebenarnya hanya 153 centi. Bentuk badanku lebih landscape, agak melebar kesamping, sekitar 76 Kg. Kulitku cukup sawo yang tidak lagi matang, cenderung busuk, rambutku ikal, dan hidungku pesek. Bisa dibayangkan bagaimana penampilanku.

Keberadaanku tak cukup memelas dengan tampilan fisik ala kadarnya, aku juga tak dibekali dengan otak yang brilian. Untuk berpikir sederhana saja otakku sudah ngos-ngosan. Pastinya Tuhan begitu adil, Dia meracik packaging ku dengan hal-hal yang serba sederhana, tapi Dia melebihkan semangatku, semangat juang  yang tak pernah diberikanNya pada orang-orang Indonesia lainnya. Usahaku untuk melanjutkan ke bangku SMA berhasil, sekalipun aku harus bekerja serabutan membayar separo tagihan sekolah, karena aku menyelesaikan masa SMA ku selama empat tahun. Untuk masuk ke akademi kebidananpun aku harus menandatangani Memorandum of Understanding terlebih dahulu dengan Bapak. Jika aku tidak lulus, aku harus mengganti semua biaya kuliahku. Bahkan Bapak tega mencatat semua pengeluaran untukku. Tapi Prasasti gitu loch! Nyerah? Jo ngasi!!!

 

Waktuku menuju kampus masih cukup lama. Sampai detik itu it’s okay-lah, semua sudah berjalan seperti yang kuperhitungkan. Sambil menghafal prosedur persalinan, ku lirik kanan kiri untuk menyegarkan pandanganku. Aku menangkap ada seseorang yang bisa menjadi objek inspirasiku. Tepat di bangku belakang supir, duduklah seorang ibu muda dengan perut buncit. Kalau analisaku tepat, kira-kira sudah 34 minggu usia kandungannya. Aku jadi membayangkan saat aku membantu proses persalinan nanti. Aku akan sukses dan berhasil, dosen-dosen akan memujiku, nilaiku baik dan aku lulus. Aku akan diwisuda dengan predikat cum laude . He… he… he… Bangganya!!!. Mungkin benar aku akan lulus, tapi cum laude? Mimpi kale yee.

 

Akhirnya aku dapat duduk dengan longgar, ibu-ibu pedagang itu sudah turun, hanya tinggal ibu hamil yang tadi kuceritakan. ‘Plasenta previa, plasenta yang menutupi jalan lahir dapat mengurangi luas ruangan dalam rahim. Akibatnya, janin berusaha mencari tempat yang lebih luas yakni di bagian atas rahim’. Mulutku komat-kamit, menghafalkan beberapa kejadian pre melahirkan. Sesekali angkot bergoyang-goyang karena melewati jalan yang rusak, dan tiba-tiba,

“Aduh… sakit…!”

Aku melihat cairan bening keluar mengalir di sepanjang kaki si Ibu. Kelihatannya mau melahirkan. Aku menggumam dalam hati ‘Ya Allah, jangan sekarang, kalau boleh diundur saja’.

“Pak, tolong anter ke rumah sakit ya, Pak!” Ibu itu merintih, memohon pada Pak Supir.

Celaka, aku bisa terlambat ke kampus. Ini kan tidak ada dalam perhitunganku. Ya Allah, apa kabarku nanti jika Pak Supir benar akan mengantarkan si Ibu ke rumah sakit. Kenapa aku musti sedih, aku kan bisa ganti angkot. Gitu aja kok repot.

“Kalau ke rumah sakit itu jalannya muter, Bu!”

“Tapi saya sudah ndak kuat, Pak!”

Percakapan mereka menyebalkan. Anggota di angkot ini kan bukan hanya mereka. Setidaknya pikirkanlah nasibku. Urusanku juga penting, menyangkut masa depanku. Aku memaki dalam hati. Kalau seperti ini ceritanya, turun saja ah.

“Saya turun depan saja, Pak!”

Si Sopir bingung, dia mulai panik, “Kalau Mbak turun, trus siapa yang akan menemani Ibu ini, saya kan ndak tahu bagaimana caranya melahirkan?”

“Diantar ke rumah sakit saja, Pak!” Jawabku enteng. EGP, Emang Gue Pikirin, bodo amat, masa depanku sedang menantiku.

Kakiku mulai ku langkahkan sekalipun sedikit goyang di dalam angkot. Pak Supir juga sudah mulai mengambil ancang-ancang memutar angkot.

“Jangan pergi, Mbak! Temani saya ya?!! Saya mohon, Mbak…”. Si Ibu tiba-tiba memegang tanganku. Aku harus bagaimana?

“Tolong saya, Mbak?” Ibu itu kembali merintih.

Piye iki? Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Aku harus cepat-cepat ke kampus, tapi aku juga tidak tega membiarkan ibu itu sendiri. Waduh, lah kok sudah keluar darah.

“Tolong saya… Sakit…”

Tolong, tidak, tolong, tidak, aku menghitung jari-jariku berharap jatuh di pilihan ‘tidak’. Tapi, apa aku setega itu membiarkan ibu ini melahirkan di angkot sendirian.

Mbok ya ditolongin, Mbak!” Keluh Pak Supir.

Napasku kutarik dalam, “Ya sudahlah.” Itung-itung latihan jadi bidan beneran.

Aku meminta ibu itu duduk di bawah, membuka kedua kakinya. Halah simbok, kaki kecil yang mungil terlihat. Sungsang! Bagaimana ya, kalau kejadiannya sungsang? Bukuku dimana? Pertolongan pertamanya bagaimana ya, aku lupa. Ya Allah, beri aku kekuatan. Bismillahi rohmani rohim…

Keringatku mengucur deras. Salah satu kaki si bayi sudah keluar. Kalau aku memaksa menariknya, bisa terjadi cacat. Bagaimana ini? Aku tidak tahu apakah ini menyalahi prosedur atau tidak, aku juga belum berpikir resiko yang akan terjadi, tapi kaki mungil itu lama-lama semakin keluar, aku harus secepatnya mengeluarkan satunya lagi.

Ini agak gila, tapi semoga berhasil. Aku memasukan tanganku. Meraba dimana satu kaki itu berada. Aku sudah lupa bagaimana jijik pada darah, aku lupa rasnya takut membantu kelahiran. Otakku berputar bagaimana caranya ibu dan bayinya bisa selamat. Ya Allah, beri pertolongan Mu.

Aku hanya mengandalkan indra perabaku, sedikit feeling, dan semoga benar. Aku mendapatkan kaiki satunya, dengan hati-hati ku tarik keluar. Apa…? Aku benar-benar terkejut, yang kutarik bukan kaki tapi usus, aku juga tidak tahu apakah ini usus plasenta atau usus yang lain, hafalanku semalam juga sudah menghilang dari otakku yang sempit ini. Aku tak mampu mengidentifikasi usus apa yang baru saja ku keluarkan.

Berulang kali aku mengucap do’a, membaca solawat, takbir, atau apa saja yang kubisa sambil kutarik dalam nafasku. Aku meraba lagi, dengan sangat hati-hati. Kali ini tidak boleh salah. Syukur Alhamdullilah, kaki satunya keluar.

“Ibu tarik napas yang dalam ya? Kemudian dorong yang kuat!”

Ibu itu menurut saja apa kataku, sekalipun dapat ku lihat dia merintih menahan sakit.

Sekarang tinggal bagaimana mengeluarkan tangannya. Badannya sudah separo keluar, jika kepalanya terus ada di dalam bisa terkena gangguan syaraf otak. Seingatku jika ketuban sudah pecah kondisi kandungan akan mulai mengering, dimungkinkan bayi akan kekurangan cairan. Suplai oksigen dari sang ibu ke bayi juga dapat terganggu. Jika jumlah oksigen berkurang bisa saja mengakibatkan ganggungan pernapasan. Trus…. bagaimana ya…?

Suasana menjadi tegang, tidak hanya aku, Pak Supir yang sedari tadi mengemudikan angkotnya juga tegang karena berulang kali aku meminta untuk mengemudi dengan pelan.

“Bu, bertahan ya? Semangat, Bu!!! Pak, pelan-pelan saja! Sebentar lagi sampai kan?”

“Siap, Mbak! Kurang setengah kilo lagi.”

”Ibu dengar kan, sebentar lagi kita akan sampai ke rumah sakit.”

Segala usaha ku kerahkan agar si Ibu dapat bertahan. Sekali lagi, hanya tinggal kedua tangan dan kepalanya kemudian beres. Kembali lagi aku berhati-hati, pelan-pelan dan begitu halus. Kali ini aku tidak mungkin salah karena ari-ari, kaki dan separo badan sudah keluar.

“Ya…a…a…!” Aku berteriak kegirangan. Angkot mulai goyang, Pak Supir heran.

“Ada apa, Mbak?”

“Berhasil… , Pak!”

Wajah kami bertiga berseri. Banyinya perempuan, mudah-mudahan besar nanti tidak seperti aku, gendut, jelek, goblok lagi.

“Pak, ada kain nggak.?”

“Buat apa, Mbak?”

“Buat selimut si Bayi, kan kasihan pak.”

“Tapi kan masih banyak darahnya, ndak dimandiin dulu?”

Sebenarnya aku yang bodoh atau Pak Supir yang kelewat pintar. Di tengah jalan, di dalam angkot bagaimana harus memandikan bayi.

“Ya nanti Pak, kalau sudah sampai rumah sakit.”

“Tapi pakai apa ya, Mbak? Saya ndak punya apa-apa, cuma ada handuk, bisa?”

Pak Supir mengambil handuk yang sejak pagi aku naik angkutan ini sudah melingkar di lehernya. Masa aku harus memakai handuk itu. Bukankah sudah kena banyak keringat, bias-bisa si bayi kena virus HaSuAng, Handuk Supir Angkutan, he… he… he…

“Wah sudah ndak narik, angkotnya kena darah, masa harus korban handuk juga, Mbak?”

“Kalau nolong yang ikhlas, Pak! Nanti kan dapat pahala.”

“Memangnya mau makan pahala?”

“Yach... ndak bisa makan pahala kan masih bisa lihat paha, Pak!”

Pak supir tersenyum mendengar celotehanku. Kelihatannya aku juga harus merelakan bajuku, handuk pak supir tak muat untuk membungkus si bayi. Aku membuka tasku mengeluarkan seragam yang sudah ku persiapkan tadi sore. Seragam itu adalah yang terbaik yang aku punya, yang terbaru diantara semuanya, tapi sudah terlanjur menolong ya jangan setengah setengah.

“Sudah sampai rumah sakit, Mbak.”

Lega rasa hatiku, ibu dan bayi selamat. Aku bahagia bisa menolong, tapi ujianku? Aku tak ambil pikir lagi. Segera aku minta tukang ojek yang mangkal di depan rumah sakit untuk mengantarku ke kampus. Jam memang sudah menyatakan aku terlambat satu jam duapuluh menit, tapi bukankan lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

 

Hasilnya bisa ditebak. Pak Dekan tidak menerima alasan yang ku berikan. Aku malah dituduh mengada-ada. Aku tak hanya tidak lulus ujian akhir, aku juga terancam dikeluarkan, karena ini kesempatan terakhirku mengulang ujian dimana nilaiku tak mencukupi untuk diluluskan.

Ini nasibku, menunggu keajaiban untuk bisa melanjutkan hidup. Masa depanku suram, padam dan berakhir di sini. Belum bapak yang akan mencercaku dengan segala makiannya yang merdu. Aku akan jadi pengangguran. Semua tetangga akan mentertawakanku.

Rasanya sedih mengkaledoskop ceritaku sehari ini. Tubuhku lemas tak bersemangat, terkapar di hamparan kasur usung di kamarku yang kumuh. Belum nyanian bapak yang sedari aku bilang aku tidak lulus, sudah membahana di setiap ruang rumah.

“Bapak kan sudah bilang, jualan bakso saja, ndak usah pake sekolah-sekolah segala, kaya kamu itu pinter saja. Bapak sudah keluarkan duit tujuhbelas juta lebih untuk biaya kamu sekolah di kebidanan, kalau dibelikan kios, mungkin sekarang kamu sudah jadi juragan bakso”

Aku sudah mengunci kamarku rapat-rapat, tapi suara bapak tetap saja masuk ke telingaku. ‘Apa aku salah sudah menolong ibu tadi? Apa ini balasan sudah berbuat baik? Kalau tahu seperti ini ndak sudi aku nolongin ibu tadi. Kemanusiaan? Pret… Terus kalau sudah begini siapa yang mau memikirkan nasib ku?’

Semenjak dinyatakan tidak lulus, air mataku terus saja mengalir, kini hanya sisa-sisa penyesalan yang kurasakan. Tapi apa aku sepicik itu? Apa keikhlasanku menolong berhenti saat kekecewaanku muncul akibat kegagalanku itu? Ya Allah, ikhlaskan hati ini. Jika ini memang sudah Kau kehendaki, yakinkan aku, akan ada hari yang lebih baik untuk masa depanku sekalipun aku tak jadi bidan lagi seperti cita-citaku

Aku memohon kiraya Tuhan menenangkan hatiku yang carut-marut. Simbok mencoba menguatkan hatiku, memberiku semangat dan menyakinkan aku bahwa tidak ada satupun yang sia-sia di dunia ini, apalagi perbuatan yang disertai niat baik.

 

Beberapa hari telah berlalu semenjak kejadian itu. Akupun sudah mampu menerima nasibku sekarang. Tapi diantara rentetan waktu itu, bahkan sampai sekarang, sering aku berhayal ada keajaiban yang merubah nasibku.

Aku membayangkan ibu yang ku tolong itu adalah istri pejabat tinggi, kemudian sebagai tanda terimakasih, suaminya memberikan memo pada Pak Dekan untuk memberiku kesempatan. Atau saat ibu itu di rumah sakit bertemu dengan wartawan yang sedang mencari berita, kemudian wartawan itu akan menyiarkan ke televisi dan secara kebetulan Pak Dekan melihat dan percaya dengan alasan yang kuajukan kemarin.

Kalau benar Ibu itu istri pejabat, mana mungkin naik angkot. Mungkin sedang cekcok dengan suaminya, jadi tidak diantar. Kalau iya masa sich pakai daster rombeng, mana yang bagian bawah sudah ada yang sobek. Kemungkinan pertama gagal. Sekarang kemungkinan kedua. Bisa saja wartawan yang sedang mencari berita di rumah sakit menemukan si Ibu, terus ditanya perihal kelahiran anaknya yang tergolong langka. Kan wartawan itu sukanya memang mencari hal yang aneh-aneh kemudian didramatisir biar lebih aneh. Siapa tahu wartawan tersebut akan menceritakan aku sebagai pahlawan penyelamat. Tidak hanya Bapak yang bangga, almamaterku juga akan mendapat sorotan dari banyak pihak, terus terkenal. Selama ini kan akademi kebidananku masih dipandang sebelah mata, selain swasta, pamornya juga tidak begitu prestisius. Wah… wah… wah… bisa jadi selebritris, numpang terkenal. Tetanggaku juga akan bilang “Sasti itu memang pinter, besok kalau aku melahirkan ke bidan Sasti saja.”

Tanganku masih asik menggelap mangkuk-mangkuk bakso saat Simbok menyadarkanku dari lamunan. “Sudah, jangan melamun saja. Yang sudah ya sudah, diikhlaskan saja.”

Kata-kata Simbok memang sejuk tapi menusuk, membuyarkan khayalanku yang tak pernah ingin ku akiri. Memang benar, sengotot apapun aku tak akan mampu merubah kenyataan. Tidak usah berhayal lagi, karena mangkuk-mangkuk itu akan mengembalikanku ke kenyataan. Aku memang terlahir tidak hanya sebagai anak tukang bakso, tapi juga sebagai penerusnya. Tujuhbelas juta, akan kulunasi, tetap semangat!

 

Kios sudah ku tutup, saatnya aku melepas lelah  di sore yang indah. Biasanya aku masih ada di kampus, praktikum medical dasar, sekarang lumayan aku sudah bisa istirahat, mungkin itu hikmahnya. Aku juga malas ke kampus untuk mengurus nasibku selanjutnya. Nanti-nanti sajalah kalau teman-temanku itu sudah wisuda, jadi aku tidak perlu malu bertemu mereka.

“Sasti…”

Ada yang menyebut namaku. Aku menoleh kearah suara itu. Aris, dia teman dekatku, sebenarnya aku suka, tapi aku lebih tahu diri, dia tidak akan mau denganku. Untuk apa dia kemari, membuatku malu saja.

“Ada apa, Ris?”

“Kamu lama ndak ke kampus?”

Aku menunduk, sebenarnya Aris serius bertanya atau ingin berbasa-basi denganku. “Kamu kan sudah tahu alasannya.”

“Iya, tapi kenapa kamu langsung menghilang begitu saja?”

“Sudahlah, Ris. Aku malas membahasnya. Aku malu datang ke kampus.”

Aris seakan menyesal sudah menyinggung hatiku. Dia memang anak yang baik, tidak seperti yang lain, bisanya hanya memperolok aku saja. Si Gendut-lah, Juragan bakso-lah, malah ada yang memanggilku Otak bakso.

“Aku kemari hanya nyampeiin pesen. Kamu diminta untuk nemui Pak Dekan.”

“Ada apa?”

Ndak tau. Ke kampus saja. Sudah ya, kelihatannya kamu masih ada yang mau di selesaikan.” Aris tersenyum tipis, kemudian menuju tempat dimana kendaraannya terparkir. Aku mengantar Aris sampai dia melaju pergi dan tak lagi tertangkap penglihatanku.

Yeach… ada apa lagi aku dipanggil. Apa mungkin aku diberi kesempatan ke dua? Tidak mungkin, cukup berhayalnya, Sas.

 

Tanpa semangat, aku menghadap Pak Dekan. Wajahku sama sekali tak memperlihatkan gairah. Aku sudah tidak peduli, terserah jika Pak Dekan akan memarahiku. Makian Bapak sudah membuatku cukup kenyang.

“Buka!”

Beliau memintaku membuka bungkusan plastik hitam. Baunya harum, apa mungkin Pak Dekan memberiku kembang tujuh rupa agar aku bisa membasuh kesialanku.

“Apa ini, Pak?”

“Sudah selesaikan saja membukanya!”

Pak Dekan itu sudah tua masih saja aneh-aneh, tingal bilang saja ada apa, gitu aja kok repot, aya-aya wae.

Apa ini? Ini kan baju seragam kesayanganku. Bukannya aku sudah memakaikannya pada bayi yang kemarin.

“Kenapa seragam saya ada di sini, Pak?”

“Kemarin ada seorang ibu yang datang mengantarkan baju itu. Dia bilang, bingung mau mengembalikannya ke mana. Jadi dia kembalikan ke sini sesuai lokasi yang ada di seragam itu. Namanya Bu Maya. Dia juga bercerita banyak tetang malaikat gendut yang sudah menolongnya.”

‘Malaikat penolong, begitu kan baik, ndak usah ditambahi gendut segala.’ Gumamku dalam hati.

“Jadi Bapak percaya kan, kalau saya tidak bohong?”

“Iya.” Pak Dekan yang biasanya memasang wajah garang, kali ini tersenyum sumringah.

“Jadi, apa saya boleh diberi kesempatan ke dua untuk ikut ujian susulan spesial?”

“Tidak!”

“Tapi…, Pak?”

“Kamu sudah langsung lulus dengan nilai ‘A’. Bu Maya bilang anaknya sehat dan kamu sudah membantu persalinanya dengan sangat baik.” Pak Dekan berbalik, mengambil sebuah amplop dan memberikannya padaku.

Senangnya, pasti uang, atau piagam penghargaan. Wah, aku tidak hanya lulus tapi juga dapat hadiah.

“Itu titipan dari Bu Maya, foto anaknya yang telah kamu tolong, namanya, Dewi Prasasti.”

Aku pikir hadiah, tapi tak apalah, aku sangat-sangat bahagia hari ini. “Terima kasih, Pak.”

 

Hari ini indah, bunga-bunga di mana-mana, sepanjang mata memandang hanya ada kilau kegembiraan. Bapak dan Simbok akan senang sekali mendengar berita ini. Terimakasih Ya Allah, Kau dengarkan do’aku. Saat aku sudah mengikhlaskan nasibku, Tuhan memberiku buah manis yang tak ku duka dari mana datangnya. Sekaranng aku percaya akan kekuatan ilmu ikhlas.

“Ada apa, Sas? Pak Dekan bilang apa sama kamu?” Aris terlihat mengkhawatirkan aku. Aku tahu sedari tadi dia menungguiku di depan pintu ruang dekan. I love you Aris, but I vole you more my aim.

“Aku lulus, Ris!!! Aku bahagia.” Aku mengguncang-guncang kedua bahu Aris. Dia hanya melongo heran melihat keajaiban yang terjadi pada sohibnya ini.

“Kok bisa, Sas?”

“Sudah nanti saja kuceritakan. Sekarang akan ku traktir kamu makan bakso sepuasnya!!!”

“Paling-paling di warung bapakmu.” Jawab Aris enteng.

“Ya iyalah… masak di warung Mas Gimbal, capek dech!”

 

“Hallooo, Gendut!” Mendadak ada suara melengking menusuk telingaku.

Wajahnya cantik, seksi, dan berkelas. Dandananya seperti kalau dia bukan orang sembarangan. Aku baru sekali ini melihatnya, tapi omongannya sudah membuatku emosi. Kalau seperti ini tidak peduli dia cantik, atau kaya, sepertinya cewek yang satu ini butuh shock terapy.

‘P..l..a..k…!’ Rasakan kesejukan tamparanku. Aku adalah calon bidan, tidak selayaknya dipanggil ‘Gendut’.

“Sas…!” Aris membentakku saking kagetnya.

“Tenang Ris, paling-paling dia anak baru, besok juga ndak bakal ketemu, sebentar lagi kita kan wisuda, ya ndak?” Aku tersenym semanis-manisnya.

“Masalahnya dia keponakan Pak Rektor.”

“Apa… ?”

 

 


 

 

 

 

 

 

Komentar